11 Juni 2009

Miftakhul Jannah....

Kunci Surga, insyaalloh demikian arti kata tersebut, bagiku kata-kata itu sangat berarti sebab tak lain adalah nama Masjid didepan rumah di kampungku Kampung Tempe, Desa Kedungbanteng RT.6, Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang Jawa Timur, masih Indonesia kok..

Aku lihat di papan Pengumuman Khotib dan Muadzin sudah penuh terisi di tiap hari Jumat berdasarkan hari-hari penanggalan Jawa atau biasa disebut Pasaran, misal si A khotib pada hari Jumat Legi, si B Jumat Kliwon dan seterusnya, aku bersyukur masjid ini sudah ditempati minimal untuk sholat Jumat. Alhamdulillah masjid yang dibangun dengan swadaya masyarakat sebagian besar, sumbangan Universitas Widya Gama Malang dan warga Kedungbanteng yang diluar daerah, sudah bisa dimanfaatkan dengan baik.

Sebelum berdiri, polemik tentang masjid kampung saya itu juga sangat panjang dan lama, mulai dari tokoh masyarakat, pamong sampai berurusan juga dengan Kantor Urusan Agama (KUA).

Awal mulanya adalah kakak ipar saya (Alm. ) Mas Asmadi, Mas Wid biasanya kami memanggil berniat membangun musholla dengan mewaqofkan tanah di belakang rumah dengan maksud membuat tempat ibadah yang permanen bagi warga muslim di Kampung Tempe.

Niat baik ini disampaikan kepada Mbah Kung sebagai tokoh agama di kampung kami, dengan tidak keberatan Mbah Kung dalam acara Tahlilan Rutin mengajak seluruh warga Kampung Tempe mewujudkan bangunan itu, ditentukanlah hari H akan mulai dikerjakan secara gotong royong. Akhirnya sampailah peletakan batu pertama sekaligus terakhir bagi rencana pembangunan Mushola itu.

Adalah Mas Maskiadi (Alm.) yang 'nyelo atur ' mengutarakan maksud baik dari Mbah Jo Soetomo (Alm.), ayahnya me-waqofkan sawahnya yang di pinggir jalan untuk dibangun masjid juga dengan ukuran terserah kemampuan warga Kampung Tempe, adapun jaraknya 400 meter dari tanahnya Mas Wid.

Jadilah ada 2 (dua) tawaran alternatif untuk membangun Musholla/Langgar. Dari sinilah konflik justru muncul. Mbah Cip (Alm.) yang dahulu guru dan Kepala Sekolah SD saya yang notabene tempatnya lebih dekat dengan sawah tawaran Mas Di (biasa kami panggil Mas Miskiadi) sangat setuju dengan tempat itu.

Kejadian selanjutnya bisa ditebak saling bertahan dan adu argumentasi antara Mbah Kung dan Mbah Cip berlangsung, sementara warga muslim yang 'nul puthul' alias masih abangan dan masih mau belajar agama di musholla nanti malah kecewa, tidak punya harapan lagi tentang musholla atau langgar lagi.

Mas Di, Kang Pardi dan Mbah Cip akhirnya membulatkan tekad untuk tetap mewujudkan pembangunan Masjid itu, jadi bukan Musholla lagi seperti rencana sebelumnya. jadilah peletakan batu pertama-nya, sampai terwujud pondasi Masjid itu.

Tahun berganti bukan-nya konflik selesai justru semakin meruncing, pihak Mbah Kung didukung perangkat desa yang menjadi kerabat beliau menyarankan kepada KUA untuk menahan dibangun-nya Masjid itu.

Jadilah rencana masjid yang mangkrak, tak terurus dan obsesi warga untuk belajar agama mungkin tinggal kenangan.



Muda-Mudi Menggeliat

Liburan kuliah Politeknik Malang bulan Juni Tahun1991, aku tidak sempat berpikir mau ngapain di kampung selama 2 (dua) bulan, penting senanglah bagi saya yang selama menjadi mahasiswa SMA-nya Brawijaya dengan jadwal masuk jam 7.00 WIB pulang jam 14.00 WIB setiap hari.

Membantu Emak di Sendangbiru yang buka Toko kelontong menjadi kesibukanku sehari-hari, terkadang juga nggak bisa membantu karena ketemu dan kongkow-kongkow dengan Mas Imam, Wawan di Tempat karambol Mas Di.

" Her, ayo bikin kegiatan untuk acara 17 Agustusan tahun ini, biar rame gitu loh kampung nya" Wawan mulai punya usul.
" Bener juga Wan, lumayan lah buat kesibukan kita " jawabku, karena saya juga tahu Wawan orangnya paling tidak bisa nganggur, maklum dia kuliah di IKIP Malang yang sekarang menjadi Universitas Negeri Malang sambil bekerja freelance di Iwan Salon Malang sebagai Motive Designer gaun pengantin.

Jadilah kami ngobrol bertiga dengan Mas Di, yang ketua LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa).
"Rek .. kalau mau bikin kegiatan dapat sumbangan dari Desa sebesar Rp. 100.000" kata Mas Di.
"Lumayan kan itu bisa untuk beli kertas untuk dekorasi" aku mendukung, karena saat itu uang Rp.100.000,- sudah dapat sepatu merek Reebok yang saat ini harganya bisa 5 kali lipat.

Wawan lah yang menjadi konseptor dari rencana panggung 17 Agustusan ini, sementara aku hanya membantu sebagai seksi acara, yang bertugas menyiapkan acara sebanyak-banyaknya yang kemudian kami sortir untuk ditampilkan pada acara nanti.

Sebagai seksi acara aku minta kesediaan tempat di rumah Mas Di dijadikan latihan seminggu 2 kali dan Mas Di bersedia. Latihanpun berjalan lancar terutama Karaoke-nya, jaman itu lagi booming-boming nya. Cak Paino yang empunya Sound System sewaan turut menggratiskan demi lancarnya acara ini.
Sementara Mas Di adalah penggerak dari seksi konsumsi, dengan tugas memberi makan orang sekampung. Dahsyat pokoknya.....

Artis-artis lokalpun bermunculan. Dari sie acara aku hanya berpesan kepada para artis lokal :
" Pas hari H-nya nanti jam 19.00 WIB harus sudah berkumpul di belakang panggung dan tidak boleh keluar lagi sebelum selesai tampil" tegasku.

" Satu lagi ya, saya liat panggung 17 Agustusan di mana-mana tidak pernah ada yang bagus karena kerjanya asal-asalan dan para artis seenaknya sendiri, disamping itu tempat make up belakang panggung tidak ditutup, jadinya kacau" aku jelaskan kepada semua panitia dan pemain.

Hari H sudah tiba, design panggung yang lumayan bagus untuk ukuran Kampung Tempe, dan sesuai permintaanku belakang panggung tertutup serta para pemain sudah berkumpul lengkap tanpa ada yang ketinggalan. Pertunjukan dengan tittle "Gebyar Malam Kemerdekaan" pun sukses digelar.

Esoknya aku bangun agak siang karena acara selesai pukul 2.00 dinihari, masih melek setengah pusing teman-teman sekampung termasuk aku dengar, " Tahun depan harus diadakan lagi lo Her.." kata mas Di dengan semangat. " Iyo Mas... " kata yang lain menimpali..... sambil mengusung meja kursi dan perlengkapan lain hasil pinjaman dari tetangga terdekat.

Aku hanya tersenyum, juga Wawan semua setuju bahwa muda-mudi kita ini senang kepada kebersamaan dan gotong royong. Mulai saat itu ada nuansa kerukunan muda-mudi juga orangtua warga Kampung Tempe.


Masjid adalah Proyek Selanjutnya

Sekembali-nya liburan kembali pada aktivitas kuliah yang tidak ada istimewanya bagi aku, dari hari kehari, bengkel, lab. Elektronika dan Laporan. Sebagai mahasiswa aku bukan termasuk aktivis kampus baik keagamaan, olahraga maupun yang lain, karena aku melihat aktivis kampus orangnya sok-sokan, gaya tok dan merasa paling wahh, sedangkan aku suka yang 'nge-slank' yang kala itu juga lagi membahana di kalangan kampus dan orang-orang muda.

Dari segi agama mulailah kembali belajar membaca Al Qur'an yang sudah sejak SMP dan SMA aku lupakan, jangankan membaca wong huruf-hurufnya juga sudah lupa, Astaghfirulloh.......

Aku tanya ke teman-teman kuliah tentang membaca Al Qur'an, akhirnya Beni teman kelas B yang memberi tahu aku, "Sekarang ada Iqro' Her ..kalo mau belajar bisa cepat" katanya.
Sampai juga bulan Romadlon, aku kira saat-saat paling religius dalam hidup manusia muslim dimanapun berada, termasuk aku.

Pas jumatan di Masjid Raden Patah ada pengumuman bahwa salah seorang pengurus MUI, KH Ali Yafei akan hadir memberikan ceramah setelah sholat Taraweh. Alhamdulillah kesampaian juga mengikuti ceramah yang sangat menarik dari Pak Kyai.
Mulai dari sholat yang bacaannya sangat bagus sampai akhirnya ceramah yang mantab isinya.

" Yho ngono Her..." kata kang Bud kakakku berkomentar setelah aku pulang dari mengikuti ceramah.

Hari berikutnya aku terus berburu ustad-ustad yang bagus untuk mendengar ceramahnya. Berdua dengan Sugoto, adik ipar Kang Bud yang memang getol dalam urusan agama, maklum dia lulusan MAN 1 Malang.

Aku hanya dengar-dengar saja Sugoto dan Kang Bud rupanya sedang mempersiapkan pembahasan pembangunan Masjid pada hari-hari Lebaran nanti. Rencana yang mulia menurutku dan aku tak tahu bahwa sedang terjadi konflik di Kampungku mengenai pembangunan Masjid.

Tahun berganti, akhirnya sampai juga aku sudah lulus kuliah, semangat melamar kerja plus semangat interview menyala-nyala, tapi belum juga ada yang mau menerimaku..he he he...
Biasalah orang yang lagi kepingin kerja merasa butuh Alloh, mencoba dengan segala kesaktiannya mendekatkan diri kepada-Nya.

Seiring dengan itu acara kegiatan Kampung-ku bertambah lagi dan kali ini mengarah pada kegiatan agama dengan adanya "Lebaran ing Kampung" yang merupakan misi muda-mudi mengumpulkan warga kampung Tempe yang sudah mapan dan berdomisili diluar daerah untuk bersilaturahmi dan berharap sesempat mungkin membahas nasib kampungnya.

Barulah kami tersadar bahwa kita butuh Masjid untuk keperluan syiar-syiar agama termasuk pengajian umum didalamnya.

Alhamdulillahi Robbil Alamin.. muda-mudi bersatu bergotong-royong bersama warga, senior, warga-warga di perantauan, bersama-sama membangun Masjid kami dengan nama Miftahul Jannah......

Yang tebersit dalam benak saya adalah bahwa niat yang baik tidak selalu mulus, lancar dan mudah. Acapkali harus dilalui dengan gegeran, tukaran, marah-marahan dan saling membenci.
Jika kita kembalikan kepada niat-nya seharusnya yang lain mengikuti dibelakangnya.

Dalam do'a aku bermohon kepada Alloh mudah-mudahan Masjid ini menjadi kunci bagi surga orang-orang yang telah memasukinya, membangunnya dan memakmurkannya..

Amien..amien ya robbal 'alamien...........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar