09 Juni 2009

Menuju Kebenaran Hakiki (Lanjutan 1)

Mas Haris dan Mbak Lin adalah pasangan Nusantara, Mas Haris asli Arema dan Mbak Lin demikian biasa dipanggil yang asli Samarinda, Kaltim.
Suatu saat saya pernah 'njagong' bertiga dengan mertua Mas Haris, dan alhamdulillah membahas juga kelanjutan dari cerita yang tidak pernah usai dan usang dari kami.

Kai Umar, panggilan akrab beliau dengan pasti dan jelas mengatakan :
" Mas, kita hidup di dunia ini jika diumpamakan sebuah organisasi sudah punya AD dan ART,
karena alangkah tidak sempurnanya Alloh jika membiarkan manusia hidup tanpa panduan. Yang dimaksud AD dan ART adalah Al Qur'an dan Al Hadist"

Dengan memandang jauh ke halaman rumah yang berhadap-hadapan dengan halaman sekolah sambil diam mencoba mengartikan dan mencerna perkataan 'Tai Uman' - panggilan Tiya, putri Mas Haris kepada kakeknya, Kai Umar-

Terus berpikir dan merenung karena kata-kata Al Qur'an dan Al Hadist sebagai tuntunan umat manusia yang mau beriman. Sebenarnya hal ini bukan yang pertama saya dengar ketika mengikuti sholat Jum'at, hadir di pengajian-pengajian umum dan melihat lomba pidato Islam.
Tetapi menjadi 'aneh' karena yang mengucapkan hanya seorang kakek, bukan ustadz bukan guru agama Islam bukan pula Takmir Masjid.

Yang melintas di pikiranku adalah Al Qur'an saat saya kelas 3 sekolah dasar di kampung saya SD Kedungbanteng 1, Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang, saat itu saya mulai belajar membaca Al Qur'an mulai 'Alief-Ba'-Ta'-Tsa' - Jim....dst.. dimana belum ada sistem belajar membaca Qur'an secara instan model Qiro'ati, Iqro' dll.

Mulai Mbah Murjo Alm. yang pernah mengajari saya sampai bisa berwudlu' dan Pak Masdiq guru baru Agama Islam yang mulai ngajari saya membaca yang tadinya tidak kenal 'Alief bengkong' istilah untuk orang yang tidak bisa baca huruf Arab, menjadi bisa walaupun sampai Pak Masdiq pindah dinas/tugas ke daerah lain tetap di Juz Amma.

Pak Lik Rifai yang selalu aktif mengajak anak-anak seusia saya kala itu sholat tarawih di bulan puasa dengan semangat di awal puasa dan barisan tinggal 4 baris di akhir bulan puasa.

Sampailah akhirnya guru Agama Islam SD saya digantikan oleh Pak Ahmad Fauzi, beliau masih bujangan saat mengajar. Dari Pak Ahmad saya mulai membaca Al Qur'an karena sudah tamat Juz Amma. Tapi soal Tajuwid masih amburadul.

Pada waktu itu yang terpatri di pikiran saya adalah Al Qur'an yang Suci, menyentuh harus berwudlu', membaca harus benar Tajwid-nya jika salah maka berdosa, meletakkan harus ditempat yang tinggi lebih tinggi dari benda atau barang lain.
Al Qur'an di-deres (=dibaca) setiap malam di bulan Puasa dengan pengeras suara yang akan didengar orang sekampung.

Kembali ke kata-kata kakek Umar, bagaimana bisa jadi pedoman jika Al Qur'an hanya dibaca sebagai indah-indahan pada saat pengajian umum ? Bagaimana bisa menjadi tuntunan jika kita hanya menghukumi cara membaca-nya, tajwidnya ?

Ini masih Al Qur'an, bagaimana nasib Al Hadist bahkan bentuknya pun aku belum tahu..

Pencarianku masih panjang.......











Tidak ada komentar:

Posting Komentar